Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PINRANG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2019/PN Pin H. ASWARDS MUH. TAMZIL, ST 1.KAPOLRES Pinrang
2.KAPOLDA Sulawesi Selatan
3.KAPOLRI
Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 07 Okt. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2019/PN Pin
Tanggal Surat Senin, 07 Okt. 2019
Nomor Surat ---------------------------
Pemohon
NoNama
1H. ASWARDS MUH. TAMZIL, ST
Termohon
NoNama
1KAPOLRES Pinrang
2KAPOLDA Sulawesi Selatan
3KAPOLRI
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
  1.  DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
  1. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan merujuk pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka;

 

  1. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
  1. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
  3. Dalam perkembangannya pengaturan dan penerapan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif). Menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
  4. Bahwa majelis hakim pada Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya kewenangan lembaga praperadilan yang juga berwenang memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
  5.  
  6. Menyatakan :

  7. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
    • [dst]
    • [dst]
  8. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76,
  9. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  10. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  11. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua pihak harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap a quo sejak diucapkan.
  12. II.   ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

  13. PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN PERKARA BERSIFAT PREMATUR.
  14. Bahwa penyidik Termohon telah menetapkan H. ASWARDS MUH. TAMZIL, ST., sebagai tersangka tindak pidana Korupsi/Penyalahgunaan Kewenangan pada kegiatan pekerjaan perbaikan jalan hantar pusat listrik bakaru Ta. 2017 sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) subs. Pasal 3 UU RI No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diunbah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan laporan polisi nomor : LP/97/XII/2018/SULSEL/SPKT/RES PINRANG tanggal 11 Oktober 2018;
  15. Bahwa Termohon  menyelenggarakan proses pemeriksaan sejak bulan Februari 2019 dimana waktu tersebut  masih dalam masa pemeliharaan sebagaimana bukti surat teguran II untuk perbaikan pekerjaan selama masa pemeliharaan  Nomor : 0031/STH.00.01/SBKR/2018 tanggal 26 Juli 2018;
  16. Bahwa yang dimaksud dengan masa pemeliharaan adalah kurun waktu kontrak yang ditentukan dalam syarat-syarat khusus kontrak, dihitung sejak tanggal penyerahan pertama pekerjaan sampai dengan tanggal penyerahan akhir
Pihak Dipublikasikan Ya